Cerdas itu tidak hanya
berhitung
Ketika kecil
kita semua sering dimarahi orang tua apabila nilai ulangan matematika
mendapatkan hasil yang kurang baik. Sehingga hari pembagian rapot merupakan
hari yang mendebarkan bagi sebagian siswa–siswi. Di sekitar kita, di negara
yang katanya negara demokrasi ini kecerdasan masih banyak dianggap sama dengan
kemampuan matematika. Anak yang cerdas adalah anak yang pandai matematika, anak
yang pandai adalah anak yang nilai matematikanya tinggi, anak yang tidak pandai
adalah anak yang tidak punya nilai tinggi dalam matematika, anak yang tidak
pandai adalah anak yang tidak pandai matematika. Begitulah anggapan di sebagian masyarakat yang masih
menganggap matematika dan ilmu alam merupakan
sebuah indikator untuk anak supaya bisa dikatakan cerdas.
Keadaan tersebut
tentu saja tidak begitu tepat. Karena setiap
anak pasti punya potensi masing-masing yang tentunya berbeda satu dengan yang
lainya. Kita tentu dan harus sadar bahwa setiap anak punya bakat dan minat masing-masing.
Tidak bisa dan tidak mungkin setiap anak harus menguasai detail-detail
matematika. Mengenal matematika, iya.
Tapi untuk menguasai, sepertinya tidak. Ada anak yang
memang minat di matematika dan ilmu eksakta lainya, tetapi ada juga anak yang
punya minat di menulis, minat menggambar, minat menyanyi, minat olahraga, dan
minat-minat yang lain. Hal ini harus
menjadi perhatian bagi kita semua. Kalau anak kita minat di dunia tulis
menulis, masukkan kursus menulis. Kalau anak kita minat di dunia tarik suara,
masukkan di kursus menyanyi. Kalau anak kita minat di dunia olahraga, masukkan
di kursus olahraga. Jangan hanya dipaksa memahami ilmu-ilmu hitung yang mungkin
bukan minat dan bakat mereka.
Eistein pernah
berkata “kamu tidak akan menemukan
kecerdasan dari seekor ikan jika kamu mengukurnya dari kepandaianya menaiki
pohon”. Bahkan dalam Al Kitab, kitab suci Al Qur’an juga ada ayat yang
intinya kurang lebih begini “serahkan
urusan duniamu kepada ahlinya” . dari dua pernyataan di atas tentu kita
sadar, bahwa seorang anak tidak bisa dikukur kecerdasannyya dari satu aspek
saja, matematika misalnya. Anak yang pandai menggambar tidak bisa dikatakan
bodoh, hanya karena dia tidak bisa mengerjakan matematika. Begitupun anak yang
pandai matematika mungkin juga tidak bisa diukur kecerdasanya menggambar
lukisan beraliran realisme, dan seterusnya.
Hal-hal di atas,
semakin meyakinkan kita semua bahwa perbedaan itu adalah pasti, perbedaan
adalah suatu keniscayaan. Dalam hal apapun, tak terkecuali dalam hal
kecerdasan. Setiap anak punya kecerdasan yang berbeda satu sama lain. ada yang
suka menggambar, ada yang suka menulis, dan lain sebagainya. Bagi para pendidik
dan orang tua, janganlah melulu membebani anak-anak untuk sekedar pandai
berhitung. Sangatlah tidak bijak, apabila kecerdasan anak hanya diukur dari kemampuannya
berhitung.
~ist.~